Sebuah Pilihan dari
Sebuah Keharusan
Dalam sebuah manajemen pengelolaan SDM, biasanya tujuan
utama berupa efisiensi, efektifitas, juga
peningkatan produktifitas. Menjadi unik karena sasarannya manusia,
Karena anatomi dan hatinya. Karena proses metabolisme fisiknya. Karena fitrahnya.
Bude jamillah sempat mencatat dan mengamati sekilas
perubahan suasa hati pasca suksesi ini. Bude mengekspresikan
perubahan itu dalam beberapa morfologi bahasa. Misalnya, dulu relatif silent.
Sebagian besar olahan yang tersaji di meja makan, tersaji dari dapur kedap
berdinding tebal.Anak-anak minim informasi keruwetan bundanya meramu resep,
mencincang bawang, mengaduk telur, atau mencicip rasa. Anak-anak sering hanya
meraba suasarna dapur.
Sementara saat ini, hiruk pikuk dapur, penampakan bahan mentah,
plating, garnies, sering kali dengan mudah diakses anak-anak, jauh sebelum
tersaji di meja makan. Mereka dengan jelas dapat mendengar keluh kesah orang
tuanya meramu resep, mencincang bawang, memeras santan. Bahkan sumpah serapah
mereka saat mata memerah karena enzim
propanethial sulphoxide dari irisan bawang.
Sebetulnya, masih menurut bude, semua ini soal pilihan. Jika
diterjemahkan lebih lugas dapat dibilang soal strategi. Strategi orang tua
dalam mengarahkan anak, memotivasi, mendidik.
Banyak pilihan, beberapa pendekatan. Bisa dilakukan
dengan disiplin ketat,
instruksional. Bisa dengan memarahi,
membentak, mempermalukan. Keluarannya mungkin anak akan nurut. Terbentuk
disiplin lurus, patuh. Dan seterusnya.
Dapat juga dilakukan dengan merengkuh, memotivasi, memberi
suri taulada, memuji. Keluarannya mungkin anak akan nurut. Terbentuk disiplin
lurus, patuh. Dan seterusnya.
Yang membedakan jelas soal kualitas. Jelas bude Jamillah.
Dari sono-nya manusia tidak ada yang mau dipermalukan. Merasa dikalahkan.
Disalahkan, atau merasa jadi pecundang.
Dari kenyataan tersebut, maka lahirlah jargon terkenal
filosofi Jawa itu : sugih tanpo bondo, ngluruk tanpo bolo, menang tanpo
ngasorake.
Bisa dianalogikan, anak yang dibesarkan dilingkungan
sarkastik, maka dia akan pandai mengumpat. Anak yang dibesarkan di lingkungan
penuh kasih sayang, dia akan pandai memuji dan mengapresiasi. Idiomatik ini
sangat mungkin berlaku universal. Pada semua struktur dan tingkatan. Pun pada
birokrasi.
Bude jamillah membayangkan, bagaimana sebuah birokrasi yang
dibangun dari rasa kekeluargaan. Dibangun dari kebiasaan saling salam, saling
sapa. Birokrasi yang dibangun dari empati, lembut budi. Birokrasi yang tegak
berdisiplin karena sesama mereka berkeluarga dalam rasa. Birokrasi yang malu jika tidak berdedikasi.
Malu ketika ada rasa jengah saat melayani.
Namun semua selalu ikut alur sunnatullah. Semua ada plus minusnya. Dan ceritanya akan selalu panjang. Seperti kecepatan medsos yang akan selalu membuat sebagian kita terkaget dan tergagap. Semua memungkinkan mengekspresikan konten remeh temeh menjadi reportase. Kadang bisa menjadi semacam shock terapi. Alat berkaca diri. Juga bisa menjadi pemicu benci.
Penting cek, re cek, tabayyun. Pun pada sebuah keluarga
Namun semua selalu ikut alur sunnatullah. Semua ada plus minusnya. Dan ceritanya akan selalu panjang. Seperti kecepatan medsos yang akan selalu membuat sebagian kita terkaget dan tergagap. Semua memungkinkan mengekspresikan konten remeh temeh menjadi reportase. Kadang bisa menjadi semacam shock terapi. Alat berkaca diri. Juga bisa menjadi pemicu benci.
Penting cek, re cek, tabayyun. Pun pada sebuah keluarga
Sebelum diskusi ini usai, bude bilang, anak birokrasi
seperti itu hanya akan lahir dari kasih sayang tulus orang tua yang mengayomi.
Di rengkuhannya, rasa nyaman akan dirasakan ....