Lumajang Travelers

Lumajang Travelers, Puncak B29, Air terjum Tumpak Sewu, Sgi Tiga Ranu, Ranu Pane Base Camp Semeru Mountains.

Lumajang Social Hiking

Warna Warni Budaya Jawa, Madura, Tengger, rancak tersaji disini.

Lumajang Exotics View

Lembah luas sepanjang kaki Semeru, Gunung tertinggi di Jawa ada disini.

Lumajang Care

Masyarakat care, penuh empati, dihampar senyum, salam, dan sapa.

Harmoni Lumajang

Temukan Harmoni Lumajang diantara serakan awan dan hamparan hijau ladang dan ngarainya.

Friday, November 9, 2018

Yang Smooth


Sebuah Pilihan dari Sebuah Keharusan

Dalam sebuah manajemen pengelolaan SDM, biasanya tujuan utama berupa efisiensi, efektifitas, juga  peningkatan produktifitas. Menjadi unik karena sasarannya manusia, Karena anatomi dan hatinya. Karena proses metabolisme fisiknya. Karena fitrahnya.

Bude jamillah sempat mencatat dan mengamati sekilas perubahan suasa hati pasca suksesi ini. Bude mengekspresikan perubahan itu dalam beberapa morfologi bahasa. Misalnya, dulu relatif silent. Sebagian besar olahan yang tersaji di meja makan, tersaji dari dapur kedap berdinding tebal.Anak-anak minim informasi keruwetan bundanya meramu resep, mencincang bawang, mengaduk telur, atau mencicip rasa. Anak-anak sering hanya meraba suasarna dapur.

Sementara saat ini, hiruk pikuk dapur, penampakan bahan mentah, plating, garnies, sering kali dengan mudah diakses anak-anak, jauh sebelum tersaji di meja makan. Mereka dengan jelas dapat mendengar keluh kesah orang tuanya meramu resep, mencincang bawang, memeras santan. Bahkan sumpah serapah mereka saat mata memerah karena enzim  propanethial sulphoxide dari irisan bawang.

Sebetulnya, masih menurut bude, semua ini soal pilihan. Jika diterjemahkan lebih lugas dapat dibilang soal strategi. Strategi orang tua dalam mengarahkan anak, memotivasi, mendidik.
Banyak pilihan, beberapa pendekatan. Bisa dilakukan dengan  disiplin ketat, instruksional.  Bisa dengan memarahi, membentak, mempermalukan. Keluarannya mungkin anak akan nurut. Terbentuk disiplin lurus, patuh. Dan seterusnya. 

Dapat juga dilakukan dengan merengkuh, memotivasi, memberi suri taulada, memuji. Keluarannya mungkin anak akan nurut. Terbentuk disiplin lurus, patuh. Dan seterusnya.  

Yang membedakan jelas soal kualitas. Jelas bude Jamillah. Dari sono-nya manusia tidak ada yang mau dipermalukan. Merasa dikalahkan. Disalahkan, atau merasa jadi pecundang.
Dari kenyataan tersebut, maka lahirlah jargon terkenal filosofi Jawa itu : sugih tanpo bondo, ngluruk tanpo bolo, menang tanpo ngasorake.

Bisa dianalogikan, anak yang dibesarkan dilingkungan sarkastik, maka dia akan pandai mengumpat. Anak yang dibesarkan di lingkungan penuh kasih sayang, dia akan pandai memuji dan mengapresiasi. Idiomatik ini sangat mungkin berlaku universal. Pada semua struktur dan tingkatan. Pun pada birokrasi.

Bude jamillah membayangkan, bagaimana sebuah birokrasi yang dibangun dari rasa kekeluargaan. Dibangun dari kebiasaan saling salam, saling sapa. Birokrasi yang dibangun dari empati, lembut budi. Birokrasi yang tegak berdisiplin karena sesama mereka berkeluarga dalam rasa.  Birokrasi yang malu jika tidak berdedikasi. Malu ketika ada rasa jengah saat melayani.

Namun semua selalu ikut alur sunnatullah. Semua ada plus minusnya. Dan ceritanya akan selalu panjang. Seperti kecepatan medsos yang akan selalu membuat sebagian kita terkaget dan tergagap. Semua memungkinkan mengekspresikan konten remeh temeh menjadi reportase. Kadang bisa menjadi semacam shock terapi. Alat berkaca diri. Juga bisa menjadi pemicu benci.

Penting cek, re cek, tabayyun. Pun pada sebuah keluarga
Sebelum diskusi ini usai, bude bilang, anak birokrasi seperti itu hanya akan lahir dari kasih sayang tulus orang tua yang mengayomi. Di rengkuhannya, rasa nyaman akan dirasakan ....