Lumajang Travelers

Lumajang Travelers, Puncak B29, Air terjum Tumpak Sewu, Sgi Tiga Ranu, Ranu Pane Base Camp Semeru Mountains.

Lumajang Social Hiking

Warna Warni Budaya Jawa, Madura, Tengger, rancak tersaji disini.

Lumajang Exotics View

Lembah luas sepanjang kaki Semeru, Gunung tertinggi di Jawa ada disini.

Lumajang Care

Masyarakat care, penuh empati, dihampar senyum, salam, dan sapa.

Harmoni Lumajang

Temukan Harmoni Lumajang diantara serakan awan dan hamparan hijau ladang dan ngarainya.

Sunday, October 24, 2010

Media Massa Kita

Merindukan Koran Soeharto ?

 

Pernah ditulis di blog ini, bagaimana seksi dan exellent dinamika sosial di sekitar kita. Minimal kita gampang menyimaknya dari banyak media massa yang ber libido tinggi. Mereka, dengan sekali sentil sudah sangat terangsang untuk menulis dan memberitakan berbagai hal. Mulai dari yang berbau gosip, setengah nyata, sampai yang faktual. Maka, bertebaranlah disekitar kita dinamika sosial itu. Gosip perceraian dan perselingkuhan tokoh, hukum, sosial, politik, hampir di geber setiap hari. Berita aib di umbar, berceceran di setiap lekukan ketiak kita. Aromanya menyengat disetiap jengkal tanah pertiwi. Media kita memang sudah “sangat paparazzi” .... ehm.Suharto

 

Anda mungkin pernah merasakan. Atau, anda mungkin justru pernah mengamati. Aroma keburukan dan dengki selalu merasuk, setiap kita membaca koran, mendengarkan radio, dan melihat tayangan televisi. Dan anehnya, kita selalu ketagihan untuk selalu mengumbar dan berburu berita itu. Pasar mereka memang masih sekelas dengan pasar kita.

 

Membaca pernyataan salah satu pakar (Detik.com), tepat pada peringatan 1000 hari mantan Presiden Soeharto, bahwa rakyat merindukan suasana era Soeharto, dan bukan pada sosok Soeharto, mungkin BENAR adanya. Rasa dendam dan dengki pada saat itu, minimal, tidak di obral kepada rakyat oleh media, setiap saat, setiap waktu.

 

Pada saat itu, melalui media kita selalu disuguhkan kepada berita baik, berita keberhasilan, berita gotong royong, berita PEMBANGUNAN! Walaupun bagi sebagian besar penganut madzab HAM dan Demokrasi, era itu akan dukuliti habis dengan beribu lembar tesis dan buku. Namun tidak bagi Bude Jamillah, dan berjuta teman bude lainnya. Saat itu, ada sesuatu yang sedikit menentramkan saat membaca media , walau juga sedikit kebosanan.

 

Saat ini, kita sulit mendapatkan berita-berita itu. Media kita selalu dan selalu berisi kritik, makian dan gosip! Jarang kita melihat pujian dan kebaikan mereka muat. Ambil contoh gampang, setiap yang dilakukan Presiden SBY, akan selalu istikhomah disambut media dengan kritik dan hujatan. Dan media dengan istikhomah pula mengambil “pakar” atau nara sumber wawancara yang dari “sono” nya sudah tidak punya kosa kata halus. Itu presiden, apalagi Bude Jamillah ... !

 

Masyarakat pembaca, pendengar dan pemirsa media kita mungkin memang “enjoi” atau “sumpek” menerima suguhan media kita. Masih perlu rapid survey, begitu ujar Bude Jamillah. Namun potret jelas sudah tergambar di peta sosial kita. Kata pakar juga, masyarakat kita sudah kehilangan jati diri dan karakteristik bangsa. Setiap hari kita melihat, mendengar, dan membaca (dari media juga), orang saling sikut dan injak berebut zakat, saling bunuh karena secuil rupiah, saling bakar, saling umpat. Rasa gotong royong dan empati raib di mangsa keserakahan, dendam kesumat, dan makian.

 

Atau itu istikhomah andil media juga bude ? ..... Wallohu a’lam ...

MANISNYA BUAH SWADAYA

Potret Swadaya Paguyuban Air Bersih di kabupaten Lumajang

 

Sebagian besar pendapat menyatakan, roh pembangunan itu partisipasi publik. Pemberdayaan masyarakat sering menjadi momok. Banyak orang bilang, sulit menggerakkan masyarakat. Itu dapat berarti tingkat partisipasi rendah.clip_image002

Jika kenyataan sebagaimana diatas, dapat berarti pendekatan pembangunan menjadi single fighter, atau bertepuk sebelah tangan. Bude Jamillah bilang, menjadi top down. Satu istilah yang sejak era reformasi menjadi tabu di gunakan. Dan konsekuensinya kita diserbu pola pendekatan partisipatif dalam segala hal model pembangunan. Dan sekali lagi, keluh kesah sebagaimana diatas sangat sering kita dengar.

 

Namun anomali partisipatif dengan mudah kita jumpai di komunitas ini. Sebuah komunitas Unit Pengelola Sarana Air Bersih yang menamakan dirinya Paguyuban Air Bersih TIRTO MANDIRI. Di paguyuban ini roh partisipatif sangat kuat dan menjadi denyut kegiatan Paguyuban.clip_image002

 

Bayangkan, dengan swadaya mereka, tanpa secuilpun bantuan mereka minta, mereka mampu menghimpun dana ratusan juta. Secara fenomenal mereka mampu mencukupi kebutuhan air bersih bagi sebagian besar masyarakat pada Paguyuban mereka.

 

Mereka berburu sumber air bersih hingga masuk ke wilayah kabupaten tetangga, Probolinggo. Mereka merentang paralon lebih dari 20 kilo meter, dari ujung sumber melewati Lima Desa di Tiga wilayah kecamatan (Gucialit, Padang dan Kedungjajang)

 

Kilas balik,

Desa Dadapan : Pada awalnya, setelah melakukan survey tingkat kebutuhan dan akses sumber air, serta rencana jalur distribusinya, mereka menyepakati sistem paket untuk pembiayaan pembangunan sistem distribusi air bersih ini. Paket yang dimaksud berupa sistem pembiayaan dan jaringan distribusi air bersih pada masyarakat atau kelompok, dimana 1 paket terdiri dari 4 Rumah dengan swadaya per paket Rp. 3.500.000. pada tahap ini berhasil didapatkan 60 paket. Dengan sejumlah paket ini, masyarakat desa Dadapan Kec. Gucialit berhasil menghimpun dana sebesar Rp. 3.500 000 x 60 = Rp. 210. 000. 000. Mereka mampu mengalirkan air dari sumbernya hingga ke kelompok – kelompok ini sejauh 24 km.clip_image002[10]

Untuk menekan kekurangan anggaran, kemudian berhasil disepakati bersama masyarakat alternatif jalan keluarnya, yaitu dalam bentuk kerja bhakti penggalian pipa. Kerja bhakti bergotong royong dalam penggalian pipa distribusi ini kemudian diatur mekanissme dan jadwalnya pada masing-masing dusun dan RT, lengkap dengan detail kontribusi dan sanksinya. Misalnya jadwal dan bentuk kontribusi konsumsi dan paket kerja bhakti bagi masyarakat yang tidak bisa hadir pada saatnya.

 

Dalam waktu lebih kurang dua bulan gotong royong dan swadaya ini berjalan, masyarakat sudah bisa menikmati air bersih yang dibangun secara mandiri itu. Kemudian secara simbolis keberhasilan ini diresmikan dengan memberikan nama kelompok ini dengan Unit Pengelola Sarana Tirta Mandiri (air bisa mengalir tanpa bantuan pemerintah).

 

Setelah keberhasilan pembangunan tersebut, paguyuban Tirto Mandiri kemudian melakukan pembangunan sarana air bersih lainnya. Pembangunan kali ini dilakukan dengan bekerja sama dengan paguyuban Air Bersih Tirta Lestari. Paguyuban Tirto Lestari adalah sebuah paguyuban yang menghimpun sekaligus sebagai wadah kerja sama UPS air bersih se Kabupaten Lumajang.

Proses Air Mengalir sampai jauh

Dari kerja sama tersebut berhasil membangun jaringan distribusi air bersih lintas kecamatan dan lintas kabupaten yang dilakukan secara murni swadaya masyarakat. Lokasi yang dilalui jaringan ini membentang dari lereng wilayah Tengger Kab. Probolinggo, sebagai letak lokasi sumber mata air, yang dialirkan ke desa-desa di wilayah tiga kecamatan, masing-masing kecamatan Gucialit, Padang dan Kedungjajang. Panjang jaringan terbangun lebih kurang sepanjang 17 KM, dengan nilai swadaya sekitar 600 juta.

 

Pada tahap berikutnya dilakukan pembangunan secara swadaya dengan sasaran 33 kelompok dari 5 desa (Gucialit, Dadapan, Kalisemut, Meraan dan Krasak) yang melibatkan 3 Kecamatan dengan perkiraan jaringan ± 15 KM. Perkiraan biaya yang dibutuhkan adalah sekitar 214,5 Juta belum termasuk untuk tenaga kerja. Jika dengan ongkos tenaga kerja diperkirakan hampir sama dengan biaya pada tahap I.

 

Jaringan distribusi diatas kemudian diwadahi dalam bentuk paguyuban air bersih yang diberi nama Tirta Tri Tunggal yang diresmikan oleh Bupati Lumajang Dr. Sjahrazad Mazdar, MA di desa Kalisemut Kecamatan Padang.

 

Hingga detik ini, kiprah paguyuban diatas masih sangat menjanjikan. Swadaya dan partisipasi mereka sudah sangat jelas menjelaskan “tangan diatas lebih baik daripada tangan dibwah”. Dan pemerintah tidak lagi dipusingkan dengan konsep top down atau bottom up. Mereka sudah bekerja dan bertanggung jawab pada diri mereka sendiri .... dan pemerintah akan sangat mudah mencari celah untuk lebih menumbuh kembangkan kiprah mereka ....

Saturday, October 9, 2010

Dahlan Iskan Direktur PT KAI

Dahlan Iskan Direktur PT Kereta Api Indonesia

Melihat perkembangan dan carut marut PT KAI akhir-akhir ini, mbok de Jamillah terusik juga untuk ikut bersilat lidah. Dia fikir bukan hanya rekan DPR yang rajin melakukan hal itu untuk menaikkan daya tawar, seperti menyambut Kapolri baru kemarin. Namun pendapat Mbok de Jamillah memang tidak mempunyai nilai jual dan tidak akan menaikkan daya tawar siapa-siapa. Pendapat ini hanya sekedar memanfaatkan celah legalitas undang-undang yang menjamin kebebasannya bagi setiap warga negaranya.
kereta api kecelakaan
PT KAI, perusahaan ini mewarisi sebagian besar aset dan sarana prasarananya dari jaman penjajahan kompeni. Mulai dari rel dan akses pendukungnya, jaringan stasiun, dan sebagainya membentang dari ujung Jawa sampai ujung Sumatra. Aset mereka melimpah lengkap dengan budaya pengelolaannya, sehingga sebagian aset berupa jalur kereta dengan akses pendukungnya di beberapa wilayah tidak lagi mampu dikelola. Aset ini kemudian disewakan, dan gegap gempitalah para penyewa menyulap areal ini dengan bentuk bangunan beraneka warna (di sepanjang bekas jalur kereta). Pun sebenarnya para penyewa ini tidak secuilpun punya kepastian pada masa depan status tanah mereka. Potret PT KAI masih buram di banyak sisi. Berita anjlognya kereta dari jalur rel mereka, kereta salah masuk jalur, kereta menghantam kendaraan lain di luar persimpangan jalan raya, dan lain-lain.
Dahlan-Iskan
Bude Jamillah maklum, penyakit akut BUMN memang masih menjadi trend, dan belum mampu direhabilitasi. Bahkan banyak diantaranya yang terpaksa diamputasi, entah dengan nama merger atau akuisisi. Memang ada juga yang sehat wal afiat dan maslahat, sebut diantaranya milik per-bank-kan dan lembaga keuangan lainnya.

Satu diantara banyak perusahaan yang mengusik minat Bude Jamilah adalah PLN. Perusahaan monopoli setrum ini walaupun masih jauh untuk dikatakan sehat (dengan subsidi per tahun masih ber trilyoon-trilyoon), di mata beliau sangat seksi. Bukan karena loss setrum dan ledakan travonya. PLN seksi karena terlihat “nyata” punya usaha dan terget menambah dan menyetabilkan strom. Dan yang lebih seksi usaha mereka sangat manis dikampanyekan kepada publik, melalui berbagai tulisan dan laporan big boss mereka, Al-Mukharrom Dahlan Iskan di media massa.

Dengan keseharian bergelayut di dunia jurnalis, sebagai CEO berbagai media, sang Dirut ini tahu betul bagaimana memperlakukan publik. Dengan pola fikir dan program kerja PLN mengalir lancar di baca publik, berbagai byar-pet listrik menjadi cair diterima masyarakat. Artinya kita tahu duduk persoalan mereke, karena sedikit banyak “jerohan” persoalan diketahui publik, so kita akan sedikit mudah di buah maklum.

Kembali ke Kereta Api. Andai PT KAI sementara di berikan Al Mukharrom Dahlan Iskan, bude Jamillah membayangkan, peta persoalan per kereta apian akan sangat taktis disusun lengkap dengan detail rencana kerja dan targetnya. Dan yang lebih seksi, semua mengalir lancar di terima publik melalu tulisan-tulisannya. Next .... Dahlan Iskan + Public Relation = Seksi abis .....