Lumajang Travelers

Lumajang Travelers, Puncak B29, Air terjum Tumpak Sewu, Sgi Tiga Ranu, Ranu Pane Base Camp Semeru Mountains.

Lumajang Social Hiking

Warna Warni Budaya Jawa, Madura, Tengger, rancak tersaji disini.

Lumajang Exotics View

Lembah luas sepanjang kaki Semeru, Gunung tertinggi di Jawa ada disini.

Lumajang Care

Masyarakat care, penuh empati, dihampar senyum, salam, dan sapa.

Harmoni Lumajang

Temukan Harmoni Lumajang diantara serakan awan dan hamparan hijau ladang dan ngarainya.

Monday, September 6, 2010

DPRD Kabupaten Lumajang

DPRD Lumajang Khabarmu Kini

Sejak hijrah dari tlatah negeri reog, sejak para warok melepas berat hijrah itu, baru kali ini kutemui ontran-ontran panjang di negeri Minak Koncar ini. Lumajang di tingkat “elit” sedang meriang bin demam dengan disharmonisasi hubungan.eksekutif-legislatif.

Awal cerita dimulai ketika pilbub 2008 dimenangi calon dari partai non mayoritas di lokal parlemen. Dan seperti budaya kita selama ini, the winner so win for success team. Kondisi ini melahirkan banyak barisan sakit hati dari berbagai posisi dan latar belakang profesi. Mereka, implisit-eksplisit memanfaatkan (mempunyai) akses pada alternatif kekuasaan (baca DPRD).

Cerita bergulir dengan kebijakan dan typikal Bupati yang sangat terbuka untuk memunculkan peluang perdebatan. Dan celakanya kebijakan yang debatable itu kurang disiapkan “ubo rampe” nya, baik alibi maupun data pendukungnya oleh punggawa di bawahnya.

Khusus yang berhubungan dengan DPRD Lumajang, pertarungan (eksplisit dan implisit), telah mengorbankan banyak kepentingan. Sebut saja yang paling mencolok nasib Anggaran PAK - dengan sekian banyak kepentingan dan penerima manfaat yang tergantung kepadanya – hingga Idul Fitri 1431 H ini tidak jelas statusnya. Dan lagi-lagi masyarakat - langsung maupun tidak – menerima dampak buruknya.

Kondisi kekinian di Lumajang dengan disharmonisasi hubungan eksekutif dan legislatif selama ini tidak ditemukan di era-era sebelumnya. Pada masa lalu tingkat kompromistis kepentingan bisa sangat fleksibel di negosiasikan, sehingga Muspida tampak guyub rukun. Secara psikis kondisi tersebut “sejuk” dipandang dan di dengarkan, walaupun secara realita kita percaya banyak harga yang harus di bayar untuk menciptakannya.

Menurut catatan Bude Jamillah, DPRD Lumajang terlalu asik bermain politik kepentingan. Dan celakanya kepentingan yang dimainkan sangat kurang memihak pada kepentingan mayoritas masyarakat. Sebetulnya Bude Jamillah paham bahwa itu memang sudah menjadi “genre” mereka, mulai dari tingkat paling atas sampai tingkat anak cabang di tingkat Desa, bahwa wakil rakyat masih menjadi wakil konstituen (baca parpol). Masih sangat sedikit bibit negarawan yang lahir melalui rahim partai politik.

Pertempuran di tingkat Legislatif sebetulnya akan sedikit berimbang andai saja pengusung sang Bupati dulu sedikit mayoritas. Jika kondisi minoritas seperti saat ini, sebetulnya sangat disyaratkan seni melakukan kompromi, juga perlu tim negosiator yang andal, sehingga daya tawar rendah bisa fleksibel dijual.

Bude jamillah mencatat hanya beberapa gelintir Perda dan anggaran (yang ini sebetulnya tugas rutin mereka) yang dihasilkan oleh wakil Parpol di DPRD ini. Apalagi jika mereka gagal mengesahkan PAK 2010, akan menjadi sah jika banyak pertanyaan “ Ngapain saja mereka selama ini?”. Pertanyaan ini bisa berkembang menjadi seberapa komitmen mereka (sebetulnya), dalam mengemban amanat memperjuangkan kepentingan masyarakat?

Menurut analisa Bude Jamillah kondisi di Lumajang memang setali tiga uang. Sementara Bupati sibuk membuka front pertempuran (baik di Pengadilan Negeri Jember, maupun di tingkat lokal), sedangkan DPRD Lumajang menggunakan seluruh energi dan potensinya untuk menjegal dan menjatuhkan Bupati.

Next Posing : Lumajang pasca Bupati non Aktif Sementara ....

Thursday, September 2, 2010

Malaysia si Jiran


 Ramadhan di Malaysia

Ramadhan ini kita disuguhi banyak gejala sosial yang semakin hari menjelma menjadi sebuah trend. Beberapa contoh dapat menjadi ingatan kita, kematian massal kasus minuman oplosan, Ibu dan anak melakukan harakiri dengan membakar diri,  penculikan anak, terorisme (yang dianggap teroris), dan segudang gejala lainnya yang kebetulan sebagian besar bermakna negatif.

Hiruk pikuk gejala paling anyar yang disuguhkan sebagian besaar media adalah tersulutnya harga diri bangsa oleh Malaysia. Gejala ini diantaranya melahirkan demo marak menjurus anarkis di Kedubes Malaysia. Dan sontak media meramunya menjadi agitasi yang membius, dengan pemisahan antara fakta dan realita menjadi kabur untuk dibedakan. Sebelum pembedaan itu menjadi jelas, su’udhon kita keburu kita implementasikan menjadi umpatan, makian, hujatan bahkan vandalism. Bentuk implementasi ini sebetulnya sudah menjadi trademark serta sudah berhasil menggerus budaya ketimuran kita. Kita sudah menjadi identik dengan budaya kekerasan (?).

Terlepas dari itu, sebagian besar diantara kita setuju untuk satu hal, kita telah menjelma menjadi sebuah negara yang kurang disegani di wilayah ini. Tetangga kita menjadi sangat kurang berhitung untuk mengusik ketenangan kita (walaupun itu juga menjadi debatable karena suatu alasan (baca status perbatasan). Namun itu menjadi hal yang kecil dimungkinkan di era negara ini belum menjelma menjadi reformis (?) seperti saat ini.

Keadaan menjadi runyam ketika para pemimpin di negeri ini menjadi gamang untuk bersikap, bahkan untuk sekedar mengaum (tanpa mencakar pun). Atau justru mereka tahu diri? Mereka tahu diri, masih jelas tergambar orang berduyun duyun saling sikut berebut zakat, saling membunuh karena sejengkal tanah, bunuh diri massal karena secuil utang.

Masih sangat bertumpuk konsekuensi hasil kebijakan mereka, ledakan bertubi-ubi gas 3 kg di dapur-dapur masyarakat miskin kita, berderet penggusuran, overload kendaraan dan macet abadi di jalan-jalan utama kita, korupsi, kolusi dan daftar panjang masalah pelik tanpa jalan keluar di negeri ini.

Atau kita secara berjamaah menjadi bernyali ciut membayangkan ribuan saudara kita berduyun duyun keluar dari perkebunan karet dan sawit Malaysia. Kita takut ratusan ribu  pengangguran baru yang siap melahirkan dan menelantarkan jutaan istri, suami, dan anak-anak mereka, yang akan menjelma menjadi monster baru yang siap meruntuhkan citra mereka. Dan itu kabar buruk pada pesta demokrasi yang akan datang.

Saya menjadi ingat pesan Bude Jamillah (yang mengutip ayat Al-qur’an), ; Bagaimana Kondisi suatu bangsa, maka demikianlah dengan pemimpin mereka. Pemimpin kita adalah cermin kondisi kita, demikian kalau boleh disimpulkan. Dan hasil penilaian pada pemimpin kita akan sangat beragam tergantung sudut pandang kita, sudut pandang tim sukses, sudut pandang tim yang tidak sukses, dan sejuta sudut pandang yang mewakili posisi dan kepentingan. Kita akan menjadi sangat sulit menemukan sudut pandang yang tidak punya tendensi. So, semua tetap berjalan, dan pro-kontra itu sunnatullah. Terpenting .... Hiduplah dengan Orisinalitas Kita  ......