Wednesday, February 10, 2010

Jembatan Grobogan Itu Menyerah !


VVIP Lumajang's Infrastruktur
Sekian lama syahwat menulis di lumajangtopic ini sedimikian loyo, anemia berat, sehingga perlu transfusi hebat.  Sebetulnya banyak topic sangat sexy yang sangat menggairahkan untuk ditulis dan di-curhati. Mulai topic local, nasional bahkan interlokal dan interkoneksi. Sebutlah masalah lokal made in lumajang, terkaparnya urat nadi infrastruktur, dengan menyerahnya jembatan Grobokan Kedungjajang oleh usia dan tonase. Di tingkat nasioanal, media masih sangat terangsang oleh skandal century, sementara di tingkat interkoneksi, khabar politik Timur Tengah dan terengah-engahnya NATO oleh Thaliban, sangat sepadan untuk di urun rembug-i.
Warisan Insinyur Holland itu menyerah !
Setelah sekian kali dilakukan tambal sulam,bok panjang- jembatan Grobokan menyerah juga. Jembatan yang konon mulai bertugas sejak tahun 1890 itu, pada awal tahun 2010 ini rusak parah dan harus dilakukan maintenance berat untuk sekedar menjadi berstatus DARURAT, agar dapat bertugas SEMENTARA kembali. Menurut Pakde Sonngeno, Indonesia ini memang terlalu luas, Jawa Timur juga terlalu luas (Beliau membandinkanya dengan Tetangga yang sugeh mblegedu Singapura). Saking luasnya akan menjadi tugas berat untuk nyambangi (control?) asset dan kekayaannya. Bagaimana tidak, di jaman yang sudah sangat facebooking dan tweetering ini, kita ternyata masih sangat mengandalkan warisan tahun 1890, sebagai urat nadi infrastruktur. Dan ketika jembatan itu betul-betul menyerah, Pakde Songgeno baru sadar betapa ringkihnya kita. Setelah itu  semua orang sibuk menghitung rupiah yang raib (kerugian ekonomi) pasca menyerahnya jembatan Grobgan ini. Pakde kita ini membayangkan, jika misalnya kita perang dengan Negara yang rudalnya jarang meleset (seperti di Pandanwangi tempo hari), dan dikirim rudal spesialis jembatan - Grobogan-Gladak Perak - maka tamatlah kita. Pisang agung akan terpaksa menjadi selai karena tidak dapat didistribusikan ketika masih segar, dan pasir lumajang yang konon sangat fenomenal itu akan semakin menggunung di sepanjang anak-anak sungai semeru, dan Terminal Wonorejo akan tetap menjadi pangkalan ojek, dan lain-lain dan lain-lain  …..
Catatan lain Pakde Songgeno – Jauh sebelum jembatan ini menyerah, kita memang selalu gagal membangunkan Lumajang. Ada memang sedkit catatan keberhasilan usaha, bolehlah kita catat ketika dulu kita berhasil memaksa armada bus untuk mencopot tulisan “Tidak Masuk Lumajang”, dengan “Ngalah” memindahkan terminal Minak Koncar ke Wonorejo. Bolehlah kita mencatat keberhasilan mendongkrak nilai jual pasir lumajang –katanya- dari 300 juta (ketika dikelola PD Semeru) menjadi 1,5 M (ketika dikelola MH) – walaupun dikemudian hari –katanya- ini masih sangat tidak sepadan. Bolehlah dicatat ketika Kawasan Wonorejo Terpadu (KWT) telah membuat terpana Tim JPIPP sehingga memberikannya Award Otonomi, walaupun kemudian ternyata kita sangat kesulitan untuk mengelolanya, sehingga orang plesetkan menjadi Kawasan Wonorejo Terbengkalai. Dan catatan terkini agaknya berhembus dari rencana Pemberian Hak Kelola Pasir Besi pada sebuah investor, yang konon akan mampu memberikan pemasukan hingga 100 M/Tahun pada kas daerah.
Pakde Songgeno sangat percaya, bahwa catatan-catatan tersebut akan sangat kurang panjang bila ingin membangunkan Lumajang. Infrastruktur yang handal sangat dipersyaratkan untuk mendukung , dan visi bos-bos besar, harus jauh melampui visi dan pandangan golongan lelembut seperti Pakde Songgeno.
Catatan lain  ….. Pakde Songgeno
Infotainmen paling hot saat ini tidak terkait dengan dunia selebritis, film, atau music,. Infotainmen dengan  RATING  tertinggi adalah PANSUS dan CENTURY. Hampir semua media mengupas tuntas semua hiruk pikuknya. Namun ada catatan menarik dari Pakde Songeno, bahwa ternyata semua hiruk pikuk itu, jika dipetakan hanya berkutat disekitar Senayan-Jakarta, dan beberapa ibu kota propinsi. Sedangkan kontributornya sebagian besar ternyata hanya terbatas pada aktifis LSM dan Mahasiswa. Kita hampir tidak pernah mendengar hiruk pikuk yang terkait pansus dan century ini dikalangan “wong ndeso” di hampir seluruh wilayah Indonesia. Mungkin “wong ndeso” terlanjur “kami tenggengen” melihat kedigdayaan politisi, LSM, dan Mahasiswa dalam bersilat lidah serta berdebat. Dan fikiran “wong ndeso’ agaknya sulit mengikuti irama berfikir “berjumpalitannya” para politisi dan segala bumbu media yang meramunya.
Catatan lain  …  Pakde Songgeno, terkait SBY
Yang lagi IN dari gaya diplomasi yang sangat disukai media adalah gaya mengkritik. Menurut Pakde, hampir tidak ada hal yang dianggab benar - yang telah dilakukan oleh Presiden ke enam ini. Jika diprosentase mungkin tidak lebih 30% berita terkait SBY yang berbau apresiatif, selebihnya adalah kritik dan kritik. Yang diherankan Pakde, mengapa tingkat electability SBY dulu sangat tinggi? Bahkan menurut hasil survey terkini yang dilakukan oleh sebuah lembaga survey, tingkat kepuasan pada SBY masih diatas 70%. Jika melihat sedikit catatan Pakde ini, jika boleh berasumsi, mungkin memang “Tuhan” Demokrasi sejati di negeri ini ada di “wong ndeso” ……  no problem  ….
(catatan : Pada saat tulisan ini diposting, jembatan darurat Grobogan sedang diuji coba ... )



0 comments:

Post a Comment

Join, please