Tuesday, February 11, 2014

Fit and Proper Test

Fit and Proper Test pada BirokrasiSebuah Catatan

Sejak awal – dan sering timbul tenggelam berganti topik dan gossip – di Lumajang topik fit and proper test relatif stabil menghiasi top topic, baik dimasyarakat maupun di lingkup birokrasi. Dengan jargon peningkatan sumber daya manusia pada birokrasi, yang ditopang dengan madzab transparansi dan akuntability, agaknya topik tersebut cenderung menarik dan up to date untuk diobrolkan di warung-warung seputaran stadion Semeru. dasi

Perhatian dan gerakan politis pada jargon peningkatan Sumber Daya Manusia ini memang akan selalu dirasakan relevansinya dan penting untuk ditekankan pada keluarga besar birokrasi – yang agaknya selalu bermasalah dengan kinerja dan tingkat kesejahteraan.

Pada awal cerita, rencana fit and proper test bagi para calon pejabat tersebut satu paket dengan “janji politis” lainnya – yang kemudian harus diterjemahkan dengan amanah politis.

Sebetulnya mungkin menjadi sangat logis ketika kita membicarakan fit and proper test ini apabila juga harus kita bicarakan tentang stok. Dengan stok yang melimpah kita perlu semacam media rapid sand filter (meminjam istilah media proses purified air bersih) untuk mendapatkan atau menentukan stok yang cocok bin sesuai dengan tuntutan pasar (masyarakat, user).

Konon Fit and proper Test dalam bahasa Inggris berarti pantas-patut atau layak (baca kepatutan, kepantasan, kelayakan). Sehingga test ini dapat berarti uji kepatutan, uji kepantasan, atau uji kelayakan – uji Kemampuan dan Kelayakan. Beberapa jenis uji biasanya akan diberikan menyangkut beberapa indikator, diantaranya uji kemampuan (knowledge), ketrampilan (skill) serta masa kerja. Indikator knowledge biasanya akan menyangkut parameter visi, misi, pengetahuan umum, ataupun pengetahuan yang relevan dengan bidangnya. Sedangkan skill dapat menyangkut technical skill dan managerial skill. Untuk uji kepatutan atau kemampuan biasanya akan dilakukan dengan mengaitkannya dengan sikap atau perilaku (attitude) serta masa kerja yang lampau (experience). Sementara indikator lain biasanya akan diberlakukan menyangkuit integritas dan kompetensi.

Namun kalau kita melihat prasyarat eksternal dengan memasukkan unsur stok atau ketersediaan, terdapat kenyataan yang relatif sulit dibantah, bahwa stok memang terbatas. Bahkan dengan indikator dan kriteria simple tapi wajib yang bernama Golongan, Kepangkatan, dan Masa Kerja, akan sulit mencari pilihan lain.

Karena kita tahu, jabatan struktural itu ya jabatan politis – walaupun hal tersebut menurut bude Jamilah tidak tepat – namun konvensinya kayaknya demikian. Saya menjadi teringat celotehan mbah Kasan tentang pola pembentukan kabinet di negeri tetangga sebelah – bahwa kabinet yang terbentuk dari sebuah proses ingar bingar demokrasi ujung-ujungnya merupakan kabinet sharing dan balas jasa (dari partai pendukung – begitu menurut pakar di TV One). Dan pada saat itu - tim sukses akan betul-betul sukses - sedangkan tim yang tidak sukses alias tim suksesnya lawan akan betul-betul terpuruk. Dan dogma utamanya adalah loyalitas, loyalitas yang sangat dipersempit pada ranah pribadi, dan bukan loyalitas pada standard profesi apalagi negara (terlalu ndakik-ndakik ?.

Salah mereka juga sih, sudah dibilang harus netral ya mesti netral. Namun netralitas itu mestinya juga harus berlaku pada seluruh ujung kontestan, lha sama – sama tidak netral tim sukses kemudian sukses, sedang tim yang tidak sukses kemudian terpuruk. Mbah bilang nepotisme itu sunnatulloh .... wallohu a’lam bissawab ...

Ah itu sudah menjadi cerita lama, dan cerita baru akan segera dimulai (setidaknya menurut sang dalang imajiner) - dan lakon cerita itu bernama Fit and Proper Test. Sebetulnya cerita itu akan mempunyai alur dan ending yang keren apabila tim yang tidak suksespun diberi kesempatan bertanding (seperti yang sudah sangat cantik diperagakan SBY dalam penyusunan konfigurasi pemerintahan pasca Pilpres). . Walaupun range nilai tinggi tentu akan jatuh pada indikator loyalitas – its ok – namun azas keadilan dan transparansi sepertinya akan selalu dicatat di hati masyarakat. Untuk loyalitas - apakah perlu melibatkan metode sumpah pocong dan penggunaan instrumen lie detector – celetuk bude Khasanah ............ mboh bude …… iku ben dadi urusane sedulur seng nggawe dasi wae  …..

0 comments:

Post a Comment

Join, please